MY BLOG
Rabu, 07 Agustus 2019
Minggu, 06 Januari 2019
TUGAS SUB 13 ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Nama (NPM) : 1. Aditiya Darmawan
(10315165)
2. Bagas Bimantara
(13315268)
3. Ilham Anugrah Widjaya
(13315268)
4. Sarah Dwikusuma H
(16315393)
5. Wisnu Maulana
(17315190)
6. Yosua Manurung
(17315294)
Dosen
: Efa Wahyuni, SE.
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
Pengertian
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa (1).
|
||
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
||
Datun
|
||
Pengertian
|
||
1
|
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak
yang bersengketa.
Para pihak
adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdta maupun hukum public.
Perjanjian
arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantun
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
|
|
2.
|
Undang-undang
ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang
secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan
dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
|
|
3.
|
Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase.
|
|
4.
|
Dalam hal
para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan
melalui arbitase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter
berwenang menetukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak
jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
|
|
5.
|
Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdaganagn dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundnag-undnagan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
|
|
Sumber:
TUGAS SUB 12 ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Nama (NPM) : 1. Aditiya Darmawan
(10315165)
2. Bagas Bimantara
(13315268)
3. Ilham Anugrah Widjaya
(13315268)
4. Sarah Dwikusuma H
(16315393)
5. Wisnu Maulana
(17315190)
6. Yosua Manurung
(17315294)
Dosen
: Efa Wahyuni, SE.
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
ASPEK
PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Pendahuluan
Secara geografis, letak Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera
sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara
ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada
di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan
aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping
keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada
kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa.
Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional
harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu terpadu,
efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Konsep
Dasar Hukum Tata Ruang
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga
masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep
dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945
aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya,
dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara
atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara
untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut
mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,
mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan
yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya
untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti
Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya
tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan
terarah.
Kriteria
Kota
Untuk menetapkan apakah sesuatu konsentrasi permukiman itu
sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang
jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah
jumlah dan kepadatan penduduk. Bagi kota yang sebelumnya sudah berstatus
kotamadya atau sudah dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah
berapa besar sebetulnya kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah
penduduk ataupun luas wilayah yang termasuk dalam kesatuan kota.
Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk menggam-barkan besarnya
sebuah kota, karena belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota.
Pada kondisi lain, kota itu sebetulnya sudah melebar
melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah
tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi tersebut. Dalam
menganalisa fungsi dan menetapkan orde perkotaan, maka luas dan penduduk
didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki cirri-ciri
perkotaan. Permasalahan bagi konsentrasi pemu-kiman atau bagi kota kecil (ibukota
kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau
masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi
konsentrasi itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum.
Beberapa
kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai
berikut :
a.
Kepadatan penduduk per kilometer persegi;
b.
Persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian
atau non pertanian;
c.
Persentase rumah tangga yang memilki telepon;
d.
Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;
e.
Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar,
tempat hiburan, komplek pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, billiard,
diskotek, karaoke dan lain-lain. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai).
Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan maka dapat ditetapkan
desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut, yaitu
perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil dan pedesaan.
Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah
dimulai sejak zaman Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak
tahun 1985 berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pekerjaan Umum dalam perencanaan kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama
tersebut Departemen Dalam Negeri bertangggung jawab di bidang administrasi
perencanaan kota, sedangkan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab di
bidang teknik (tata ruang) kota.
Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan
Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana
pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait
dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu
tertentu dimasa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun
untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima tahanan.
Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Kota
Penyusunan rencana
tata ruang wilayah kota mengacu pada:
·
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
·
pedoman
dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
·
rencana
pembangunan jangka panjang daerah.
Penyusunan
rencana tata ruang wilayah kota harus memperhatikan:
·
perkembangan
permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;
·
upaya
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kota ;
·
keselarasan
aspirasi pembangunan kota ;
·
daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
·
rencana
pembangunan jangka panjang daerah;
·
rencana
tata ruang wilayah kota yang berbatasan; dan
·
rencana
tata ruang kawasan strategis kota.
Muatan, Fungsi, dan
Jangka Waktu Rencana Tata Ruang
Rencana tata ruang
wilayah kota memuat:
·
tujuan,
kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota ;
·
rencana
struktur ruang wilayah kota yang meliputi sistem perkotaan di
wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana
wilayah kota ;
·
rencana
pola ruang wilayah kota yang meliputi kawasan lindung
kota dan kawasan budi daya kota;
·
penetapan
kawasan strategis kota;
·
arahan
pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan
·
ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan
umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif,
serta arahan sanksi.
Rencana tata ruang
wilayah kota menjadi pedoman untuk:
·
penyusunan
rencana pembangunan jangka panjang daerah;
·
penyusunan
rencana pembangunan jangka menengah daerah;
·
pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota;
·
mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
·
penetapan
lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
·
penataan
ruang kawasan strategis kota.
Rencana tata ruang
wilayah kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi
pembangunan dan administrasi pertanahan. Dalam kondisi lingkungan
strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas
teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan
dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kota ditinjau
kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Ruang Terbuka Hijau
Ketentuan perencanaan
tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud di atas berlaku mutatis
mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ditambahkan:
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
·
rencana
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
·
rencana
penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi
dan pusat pertumbuhan wilayah.
https://id.scribd.com/doc/173672519/Konsep-Dasar-Hukum-Tata-Ruang
http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-kota.html
TUGAS SUB 11 ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
ASPEK
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Nama
(NPM) : 1. Aditiya Darmawan
(10315165)
2. Bagas Bimantara
(13315268)
3. Ilham Anugrah Widjaya
(13315268)
4. Sarah Dwikusuma H
(16315393)
5. Wisnu Maulana
(17315190)
6. Yosua Manurung
(17315294)
Dosen
: Efa Wahyuni, SE.
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2018
ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
Definisi
Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan
pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan
dengan pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam
pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena
terkait dengan pengolahan lahan.
Agraria bukanlah cabang ilmu, melainkan sekumpulan
perangkat yang mengatur aspek hukum terkait dengan lahan. Geodesi merupakan alat dasar bagi
agraria untuk menentukan ukuran lahan, sedangkan ilmu administrasi dan peraturan hukum merupakan
alat pokok dalam keagrariaan.
Undang-Undang Pokok
Agraria (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) adalah undang-undang yang mengatur
tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria nasional
di Indonesia.
Hal itu mencakup dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok, hak-hak atas tanah,
air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah, ketentuan-ketentuan pidana dan
ketentuan peralihan.
Hukum Agraria Nasional
UUD 1945 meletakkan dasar politik
agraria nasional yang dimuat dalam pasal 33 ayat (3) nya yaitu“Bumi, air, dan
kekeyaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Ketentuan ini bersifat imperative
yaitu mengandung perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan
untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria colonial dengan keadaan dan
kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu
1. Menggunakan
kebijaksanaan dan tafsir baru
2. Penghapusan hak-hak
konversi
3. Penghapusn tanah
partikelir
4. Perubahaan peraturan
persewaan tanah rakyat
5. Peraturan tambahan
untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
6. Peraturan dan tindakan
mengenai tanah-tanah perkebunan
7. Kenaikan canon dan cijn
8. Larangan dan
penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa ijin
9. Peraturan perjanjian
bagi hasil(tanah pertanian)
10. Pengalihan tugas dan
wewenang agraria
Faktor-faktor Penting dalam
Pembangunan Hukum Agraria Nasional
Menurut Notonagoro, Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam pembangunan Hukum Agraria nasional, adalah :
1. Faktor Formal, yaitu
Keadaan hukum agraria di Indonesia sebelum diundangkannya UUPA merupakan
keadaan peralihan, keadaan sementara waktu, berdasarkan pada
peraturan-peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-peraturan
peralihan yang terdapat dalam pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)
1950, pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan pasal 2 Aturan
peralihan UUD 1945.
2. Faktor
Material, yaitu Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme hukum yang
meliputi hukum subjek maupun objeknya menurut hukumnya disatu pihak berrlaku
Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, dipihak lain berlaku Hukum
Agraria adat yang diatur dalam hukum adat. Oleh karena itu setelah Indonesia
merdeka, maka sifat dualisme hokum agraria colonial ini harus diganti dengan
sifat unifikasi (kesatuan) hukum yang berlaku secara nasional.
3. Faktor
Ideal. Dari factor ideal (tujuan negara) sudah tentu tujuan Hukum
Agraria kolonial tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hukum Agraria kolonial dibuat untuk
kepentingan pemerintah Hindia Belanda, Eropa, Timur asing, sedangkan Hukum
Agraria nasional dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. Untuk itu Hukum Agraria kolonial harus diganti
dengan Hukum Agraria Nasional yang diarahkan kepada terwujudnya fungsi bumi,
air, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.
4. Faktor Agraria
Modern. Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan-lapangan
: Lapangan Sosial, ekonomi, etika,idiil fundamental factor-faktor inilah yang
mendorong agar dibuat Hukum Agraria Nasional
5. Faktor
Ideologi Politik. Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai
keterkaitan hidup dengan negara-negara lain. Dalam menyusun Hukum Agraria
nasional mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.
Asas-asas hukum agraria
1. Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang menyatakan
bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah
atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak
membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli
maupun keturunan.
2. Asas dikuasai oleh Negara
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat
tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
(pasal 2 ayat 1 UUPA)
3. Asas hukum adat
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai
sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari
segi-segi negatifnya
4. Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang menyatakan
bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan
kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)
5. Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan
bahwa stiap WNI baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah
6. Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu asas yang melandasi hukum
Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun
keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak
artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
7. Asas gotong royong
Bahwa segala usaha bersama dalam
lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan
nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya,
Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama
dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
8. Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan dalam satu UU
yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang
berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
9. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang memisahkan
antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang
ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale
scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang
menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu
tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala
sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda
atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)